Oleh : Kristianto.Simuru
Menurut informasi yang di deskripsikan para misionaris utusan pekabaran injil di tanah poso pada akhir abad-19 yang dipelopori oleh A.C Kruyt tahun 1892 dan Dr.N.Adriani tahun 1895 bahasa di Tanah poso tersebar menjadi beberapa jenis bahasa di beberapa daerah yaitu:
- Bahasa kaili terdapat di wilayah Palu dan sekitar Parigi.
- Bahasa ledo dan tara (masih serupun dengan bahasa kaili )
- Bahasa Bali dan jawa di wilayah eilayah transmigran
- Bahasa Pamona terdapat di wilayah Pamona, Mangkutana,Waotu,dan Mori atas.
- Bahasa Taa merupakan bahasa yang di gunakan suku wana dan mereka yang berada di daerah Lore Utara
- Bahasa Bada dan Rampi yang terdapat di wilayah sekitar Lore Selatan
- Bahasa Mori terdapat di wilayah Mori atas, Beteleme,Kolonodale dan Malili-Nuha.
Akan tetapi bahasa masing masing suku atau anak suku masih ini tetap terlokalisasi pada wilayah suku masing-masing karena penyebaran anggota suku belum terjadi selain itu di antara suku-suku tersebut sering terjadi permusuhan atau konflik.Akan tetapi sejak berdirinya GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah) tanggal 18 Oktober 1947 dan masa sesudahnya, terjadilah pejumpaan dari berbagai-bagai bahasa akibat jalur mobilisasi dan komunikasi mulai berkembang diantara suku suku ini selain itu factor perkawinan campur antar suku dan kontak kontak fisik lainya ( berdangang ) menyebabkan suatu wilayah tidak lagi di monopoli oleh salah satu bahasa suku tertentu..
Potensi Bahasa sebagai alat utama untuk berkomunikasi dipandang oleh Kruyt sebagai sebuah jalan untuk mengembangkan misi Misionarisnya di Tanah poso. itulah sebabnya usaha yang pertama yang di lakukan AC Kruyt adalah dengan mempelajari bahasa penduduk asli ( bahasa Pamona ) disamping mempelajari sifat dan cara cara hidup mereka. Bersama dengan N.Adriani. seorang ahli bahasa yang di utus oleh lembaga alkitab belanda (NBG).
“ kruyt : yang sangat penting ialah bahwa kami di waktu mempelajari dan menggunakan bahasa itu menundukan diri kepadanya. Dalam hal ini kami berada di bawah tata tertib aturan-aturan yang di teruskan oleh nenek moyang dan di bawah pengawasan setiap orang di depan umum”
Mereka kemudian berusaha mempelajari tata bahasa dan gaya bahasa pamona yang waktu itu di sebut bahasa Bare’e. menurut mereka salah satu keistimewaan bahasa Pamona adalah kemampuannya mengungkapkan perasaan hati yang paling dalam melalui bentuk bahasa yang di kenal denganistilah “tengke” dan “kayori”. Istilah “tengke” mengandung pengertian bahasa berirama sedang “kayori” dapat disamakan dengan pantun. Tengke umumnya hanya diketahui oleh Tua-tua adapt untuk menyampaikan isi hati atau maksud yang sangat penting secara filosofis. Penggunaannya adalah pada waktu temu pendapat atau pada pesta-pesta tertentu. Ungkapan ungkapan ini dapat kita lihat dalam tulisan N Adriani. “ Het Bare’e Nederlandsch Woordenboek dan Onze Zendingsvelden II poso.
( sumber :Wajah GKST,oleh Sinode GKST ( Dj Tanggerahi Cs) .Tentena 1992 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar